Minal Aidin Walfaidzin, Mohon Maaf Lahir & Bathin

Media Network
Netizen

Teror Kepala Babi, Reaksi Istana, dan Ancaman Nyata terhadap Kebebasan Pers di Indonesia

Insiden pengiriman kepala babi kepada jurnalis TEMPO, Francisca Christy Rosana, menyulut gelombang kemarahan dari berbagai pihak. Publik dibuat geger ketika Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, menyebut kepala babi tersebut “untuk dimasak saja”. Pernyataan itu langsung memantik kontroversi dan memperkeruh isu yang sudah panas.

Di media sosial dan kanal pemberitaan nasional, ucapan tersebut memunculkan polemik tajam. Para oposisi politik seolah menemukan peluru baru untuk menyerang Istana. Mereka membingkai isu ini sebagai bentuk nyata pembungkaman terhadap kebebasan pers di Indonesia.

Respons Istana dan Koreksi Presiden Prabowo

Merespons kegaduhan publik, Presiden Prabowo Subianto akhirnya angkat suara. Ia menegaskan agar seluruh jajarannya memperbaiki komunikasi publik. Arahan ini secara tak langsung mengisyaratkan bahwa komentar Nasbi telah mencoreng citra pemerintah dalam menangani kasus yang menyangkut jurnalis.

Namun, apakah teror ini memang ancaman serius terhadap kebebasan pers? Ataukah sekadar reaksi berlebihan media arus utama yang justru memanfaatkan momentum demi agenda tertentu?

Narasi Kepala Babi: Simbol Perlawanan atau Komoditas Politik?

Istana Dijadikan Sasaran Isu Internasional

Pernyataan “kepala babi dimasak aja” seolah menjadi menu provokatif yang sengaja dipakai untuk menggiring opini publik. Narasi ini sukses menarik perhatian tokoh-tokoh nasional dan internasional. Sayangnya, isu utama soal teror terhadap jurnalis justru tenggelam oleh perdebatan tentang pernyataan itu.

Media internasional seperti AFP dan Strait Times menyoroti kasus ini dengan tajam. Begitu pula Asia Sentinel dan UCA News yang menyoroti aspek diskriminatif dan ancaman terhadap jurnalis perempuan beragama Katolik.

Dampak Global: Citra Indonesia Tercoreng

Reaksi internasional memperkuat narasi bahwa kebebasan pers di Indonesia sedang terancam. Isu ini bahkan berpotensi menurunkan kepercayaan investor, memperlemah rupiah, dan menjatuhkan reputasi pasar modal nasional. Pemerintah harus sadar bahwa isu ini tidak bisa dianggap sepele.

Langkah Hukum: Pilihan Bijak Menghindari Politisisasi

Pimpinan redaksi TEMPO, Setri Yasra, melaporkan teror tersebut ke Bareskrim Polri. Langkah ini dinilai tepat agar penyelesaian dilakukan melalui jalur hukum, bukan panggung politik. Ia menegaskan bahwa teror semacam ini bukan hanya mengancam individu, tetapi juga profesi jurnalis secara keseluruhan.

Setri menambahkan, penyelesaian kasus ini akan menjadi preseden penting dalam menegakkan keadilan bagi pekerja media.

Media Mainstream: Selektif dalam Menyoroti Kekerasan terhadap Wartawan

Kasus Serius yang Terlupakan

Berbeda dengan gegap gempita media terhadap kasus kepala babi, sejumlah kasus pembunuhan wartawan diabaikan. Misalnya, kasus pembakaran wartawan Tribrata TV, Rico Sempurna Pasaribu, pada Juni 2024. Meskipun sangat serius, media tidak membesar-besarkan isu tersebut, apalagi menyeret istana.

Begitu pula kasus Mara Salem Harahap yang ditembak mati karena membongkar praktik judi dan narkoba, serta Muhammad Yusuf yang tewas dalam tahanan setelah dikriminalisasi karena menulis soal konflik lahan.

Media dan Kepentingan: Kenapa Istana Hanya Diseret di Kasus Tertentu?

Ada pola yang terlihat—media mainstream cenderung membingkai isu sesuai agenda tertentu. Ketika wartawan dari media besar menjadi korban, liputannya luar biasa masif. Namun ketika korban berasal dari media lokal atau independen, perhatian publik cenderung minim.

Rekomendasi Dewan Pers: Teror yang Tak Kasat Mata

PPR Dewan Pers, Ancaman Terselubung terhadap Pers Lokal

Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) dari Dewan Pers justru menjadi ancaman serius bagi media lokal. Contohnya adalah Muhammad Yusuf, jurnalis yang akhirnya tewas dalam tahanan karena PPR menyatakan medianya tidak terverifikasi, sehingga kasusnya diproses dengan hukum pidana.

Kriminalisasi Jurnalis Melalui Dewan Pers

Kasus Torosidu Lahia menjadi bukti lain bagaimana rekomendasi Dewan Pers bisa membungkam suara media. Meski bupati yang diberitakannya terbukti korupsi dan ditangkap KPK, Torosidu sempat mendekam di penjara.

Hal serupa terjadi di Gorontalo, ketika media yang meliput penggerebekan justru dinyatakan melanggar kode etik dan dipaksa meminta maaf. Media-media lokal pun kini semakin takut melakukan investigasi karena takut dikriminalisasi.

Deddy Corbuzier dan Standar Ganda Dewan Pers

Ironisnya, saat Deddy Corbuzier melakukan wawancara dengan eks Menteri Kesehatan di dalam tahanan tanpa izin resmi, Dewan Pers justru menyatakan bahwa itu adalah produk jurnalistik. Padahal medianya bukan perusahaan pers resmi dan tidak berbadan hukum.

Mengapa perlakuan berbeda begitu mencolok? Dewan Pers terlihat lebih melindungi figur publik ketimbang ribuan wartawan lokal yang benar-benar berjuang di lapangan.

Kebebasan Pers Harus Dilindungi, Bukan Disalahgunakan

Pemerintah perlu meninjau ulang peran dan kebijakan Dewan Pers, terutama terkait PPR yang kerap dijadikan alat untuk membungkam media kecil. Perlindungan terhadap jurnalis tidak boleh bersifat eksklusif, hanya untuk mereka yang bekerja di media besar atau ternama.

Saatnya Indonesia benar-benar menjamin kemerdekaan pers secara utuh—baik untuk media arus utama maupun media independen. Ancaman nyata bukan hanya dari pengirim kepala babi, tapi juga dari sistem yang meminggirkan dan mengintimidasi suara-suara kritis di level bawah.

Penulis: Hence Mandagi
Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia

Story Squad

Menulis bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan untuk menyampaikan kebenaran dengan jernih dan tajam.

Berita terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button